TUGAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
PENERAPAN SINGLE RENVOI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA INTERNASIONAL
PENERAPAN SINGLE RENVOI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA INTERNASIONAL
DI SUSUN OLEH :
NAMA : KHAERUN NISA’
NIM :
D1A113134
KELAS : B
KELAS : B
FAKULTAS HUKUM REGULER
SORE UNIVERSITAS MATARAM
2015
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan
karunia-Nya. sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Adapun
judul dari makalah ini adalah “Penerapan
Single Renvoi Dalam Penyelesaian Perkara Hukum Perdata Internasional”
Penyusunan
makalah ini ditujukan
untuk memenuhi salah satu
kriteria
penilaian dalam
mata kuliah Hukum Perdata Internasional semester genap
di
Universitas Mataram.
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
para
pembaca. Namun, makalah
ini mungkin memiliki kekurangan. Karena itu, sangat
di perlukannya kritik
dan saran yang
dapat membangun makalah
ini sehingga
menjadi lebih baik
lagi. Akhir kata, saya mengucapkan maaf yang sebesar-
besarnya atas segala
kesalahan yang mungkin ada didalam makalah ini.
Mataram 18 April 2015
KHAERUN NISA’
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi sekarang ini, interaksi antar
manusia dari berbagai penjuru dunia semakin banyak dan intens. Pengaruh
kemajuan teknologi dan sarana komunikasi yang semakin canggih membuat berbagai
pihak dari satu negara dengan negara lain yang memiliki kecocokan kepentingan
satu sama lain kemudian menjalin hubungan di berbagai bidang.
Ditambah lagi dengan arus perpindahan penduduk
(migrasi) dari satu negara kenegara lain baik secara tetap maupun untuk
sementara membuat interaksi antar manusia dari berbagai negara semakin pesat. Akibat
interaksi ini pun kemudian berlanjut pada timbulnya hubungan hukum antara
pihak-pihak dari berbagai negara. Hubungan Hukum itu pun terwujud dalam
hubungan hukum internasional yang bersifat privat maupun hubungan hukum yang
bersifat publik.
Hubungan hukum internasional yang bersifat publik,
contohnya dapat kita lihat pada kerjasama internasional yang di wujudkan dalam
bentuk perjanjian internasional antara negara. Hubungan hukum publik berupa
hubungan antar negara ini kemudian memacu timbulnya sebuah norma hukum baru
yang bersifat transnasional yang mengatur perhubungan anatar negara yang
disebut hukum internasional publik.
Hubungan hukum internasional yang bersifat privat
(perdata) , contohnya dapat kita lihat pada kontrak bisnis antara perusahaan
dari suatu negara dengan negara lain, perkawinan antara seorang pria dan wanita
yang berbeda kewarganegaraan, bisa juga perkawinan antara pria dan wanita yang
memiliki kewarganegaraan yang sama
menikah di negara asing atau seseorang yang berkewarganegaraan tertentu
berdomisili di negara asing. Hubungan Hukum ini kemudian memunculkan suatu
hubungan hukum perdata yang bersifat
internasional atau disebut dengan hubungan hukum perdata internasional.
Adapun yang menjadi perbedaan di antara keduanya
adalah terlihat dari sumber hukumnya. Hubungan hukum internasional publik
bersumber pada norma-norma hukum internasional yang diakui , sebagai mana
diatur dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Makhkamah Internasional. Selain itu pula
persoalan yang diatur dalam Hukum Internasional Publik adalah persoalan yang
bersifat publik, yang mengatur hubungan antara negara dengan negara lain atau antara
negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara
satu sama lain.
Pada Hukum Perdata Internasional yang menjadi sumber
hukum adalah Hukum Nasional (domestik) law dari pihak-pihak yang berperkara hal
ini dikarenakan tiap-tiap individu yang berbeda negara tunduk pada hukum
nasional negaranya masing-masing. Kata Internasional yang terdapat pada hukum
perdata internasional terletak pada unsur asing yang terdapat dalam perkara
hukum perdata internasional tersebut. Unsur asing tersebut dapat berupa status
personalitas (person) dari pihak-pihak yang berperkara atau unsur
teritorialitas tempat dimana peristiwa atau hubungan hukum tersebut terjadi.
Jadi, Pada dasarnya antara Hukum Internasional dan
Hukum Perdata Internasional tidak dapat
disamakan. Hal ini karena terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup
mendasar.
Pertama ditinjau dari sumber hukumnya Hukum
Internasional Publik bersumber pada sumber hukum internasional yang diatur
dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. Berbeda dengan Hukum
Perdata Internasional yang bersumber pada hukum nasional (domestic law) dari
pihak-pihak yang terkait dengan perkara HPI tertentu.
Kedua
dilihat dari sifat persoalan atau perkara yang dihadapi maka hukum
internasional publik mengatur persoalan yang sifatnya publik, contohnya , kerja
sama antar negara , pendirian organisasi internasional atu hubungan diplomatik
dan konsuler antar negara.
Hal ini
berbeda dengan Hukum Perdata Internasional yang sifat persoalan atau perkara
yang dihadapinya adalah hal-hal yang bersifat perdata (privat) , contohnya ,
perkawinan campuran beda negara, atau kontrak bisnis yang melibatkan pihak yang
berbeda kewarganegaraan.
Oleh karena yang menjadi subjek dalam suatu perkara
hukum perdata internasional, tunduk pada hukum nasionalnya (domestic law)
masing-masing, kemudian menyebabkan benturan yuridiksi antara hukum nasional
masing-masing subjek perkara hukum perdata internasional tersebut untuk
memberlakukan hukum mana yang akan diberlakukan. Dari hal ini maka peran Hukum Perdata
Internasional adalah untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan
terhadap suatu perkara yang di dalamnya terdapat unsur-unsur asing.
Dalam memecahkan sebuah perkara hukum perdata
internasional terdapat sebuah ajaran atau doktrin yang mengatur tentang
penunjukan kembali atau yang lebih familiar dengan sebutan renvoi. Secara umum
Renvoi dapat dikatakan sebagai penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut
oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah
HPI lex fori.
Dalam hal ini ketika dalam pemecahan suatu perkara hpi
yang mengunakan renvoi, maka hakim (forum) yang mengadili suatu perkara HPI
pada awalnya berdasarkan lex fori melakukan penunjukan terhadap hukum asing
sebagai lex causae dalam penyelesaian perkara hpi tersebut. Kemudian ternyata
di dalam lex causae terdapat sebuah kaidah hpi yang melakukan penunjukan
kembali terhadap lex fori atau sistem hukum lain sebagai hukum yang harusnya
digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Terkait dengan doktrin renvoi ini maka saya berusaha
untuk menjelaskan penerapan single renvoi dalam sebuah kasus hukum perdata
internasional yang akan dibahas pada bagian selanjutnya dari tulisan ini saya berusaha untuk membahas
bagaimana penerapan single renvoi dalam penyelesaian perkara HPI dalam kasus
The Forgo Case 1879.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagimana penerapan single Renvoi dalam penyelesaian perkara Hukum Perdata
Internasional dalam kasus The Forge Case
2. Apakah
alsan-alasan yang digunakan oleh Lex fori dan Lex causae dalam pelaksanaan
Renvoi tersebut ?
3. Bagaimana
penggunaan Renvoi dalam HPI ?
1.3. Tujuan Permasalahan
1. Untuk mengetahui penerapan single
Renvoi dalam Penyelesaian Hukum Perdata Internasional yang terdapat dalam kasus
The Forge Case
2. Untuk mengetahui alasan-alasan yang digunakannya
oleh Lex Fori dan Lex Causae dalam pelakasanaan Renvoi
3. Untuk mengetahui proses Penggunaan
Renvoi dalam HPI ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1.
Penyelesaian Sengketa The Forgo Case
Perkara The Forgo Case merupakan perkara mengenai
masalah waris yang diajukan ke pengadilan prancis. Awal mula kasus ini dimulai
dengan meninggalnya seorang pria berkewarganegaraan Jerman (bavaria) yang
bernama Forgo. Sejak usia 5 tahun forgo menetap di prancis tanpa berupaya memperoleh
tempat kediaman resmi (domicile) di prancis. Di ketahui juga bahwa forgo
merupakan anak luar kawin. Pada tahun 1879 ia meninggal di prancis tanpa
meninggalkan testamen (wasiat) , ia meninggalkan harta benda berupa sejumlah
benda-benda bergerak di prancis. Berdasarkan hukum prancis terkait dengan warisan anak luar kawin harta
warisan jatuh kepada negara. Akan tetapi menurut hukum jerman (bavaria) saudara-saudara kandung berhak untuk mendapat harta warisan dari
saudara kandungnya yang merupakan anak luar kawin. Terkait dengan harta
peninggalan forgo ini kemudian timbul tuntutan (gugatan) yang diajukan oleh
saudara-saudara kandungnya di pengadilan prancis terhadap pemerintah prancis. Untuk
menyelesaikan perkara ini, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh
hakim (forum) prancis.
Pertama tahapan yang harus dilakukan adalah hakim
(forum) harus menentukan apakah persoalan yang dihadapi ini merupakan perkara
HPI atau bukan. Dalam hal ini hakim akan
menghadapi persoalan hukum dalam wujud sekumpulan fakta hukum yang mengandung unsur-unsur asing (foreignt
elements). Pada tahap ini hakim (forum) menyadari fakta-fakta di dalam perkara
yang menunjukan adanya keterkaitan antara perkara dengan tempat-tempat asing (tempat-tempat di luar
wilayah forum). Fakta-Fakta ini disebut dengan Titik –Titik Pertalian Primer
(Primary point of contact). Adanya titik-titik pertalian primer ini dalam
sebuah perkara menunjukan seseorang sedang menghadapi perkara HPI.
Yang dimaksud dengan Titik –Titik Pertalian Primer
adalah unsur-unsur yang menunjukan bahwa
suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa hukum perdata internasional dan bukan suatu peristiwa intern nasional. Dapat juga di definisikan bahwa titik-titik
pertalian primer adalah fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI)
yang menunjukan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat tertentu, dan
karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan
kemungkinan berlakunya sistem/aturan hukum intern tempat itu. Unsur-unsur yang
tergolong sebagai titik pertalian primer adalah sebagai berikut :
a. Kewarganegaraan
b. Bendera kapal atau pesawat
c. Domisili
d. Tempat kediaman
e. Tempat kedudukan badan hukum
f. Pilihan hukum dalam hubungan hukum internasional
g. Tempat dilaksanakannya perbuatan melawan hukum
h. Tempat
terletaknya benda
Jika
di lihat lebih lanjut fakta hukum pada kasus forgo diatas, dapat di
tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya yang menjadi titik-titik pertalian primer
adalah kewarganegaran dan tempat kediaman sehari-hari (habitual residence). Dimana
forgo merupakan seorang yang berkewarganegaraan jerman (bavaria) sedangkan
sehari-harinya ia berdiam (tempat kediaman) di prancis. Jadi dapat disimpulkan
pula bahwa kasus forgo ini merupakan perkara HPI karena adanya benturan
yurisdiksi antara hukum nasional (domestic law) dari negara jerman dan
prancis.
Setelah
titik-titik pertalian primer dari kasus tersebut diketahui, dan telah
ditetapkan bahwa hal tersebut merupakan perkara hukum perdata internasional,
maka tahap yang harus dilanjutkan adalah mementukan apakah hakim (forum)
mempunyai kewenangan yurisdiksional untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara yang tersebut. Untuk menentukan hal ini maka hakim harus berpegang pada
kaidah-kaidah dan asas-asas hukum acara perdata internasional yang berlaku dan
merupakan bagian dari sistem HPI lex fori (sistem hukum negara asal hakim yang
memeriksa perkara).
Dari
kasus forgo tersebut diketahui bahwa perkara diajukan kepada pengadilan (forum)
prancis, oleh karena itu hakim (forum) prancis harus menentukan apakah hakim
prancis memiliki kewenangan/kompetensi yurisdiksional untuk mengadili kasus
forgo tersebut. Untuk menentukan apakah hakim (forum) prancis berwenang , maka
hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah atau asas –asas hukum acara perdata
internasional yang berlaku dan merupakan bagian dari sistem HPI lex fori (hukum
acara pada pengadilan prancis).
Adapun kaidah
atau asas-asas yang mengatur tentang kewenangan yurisdiksional forum untuk
mengadili suatu perkara HPI , terdiri atas beberapa macam yaitu.
a) Asas sequitor forum rei , bahwa gugatan diajukan ke pengadilan , tempat
dimana tergugat bertempat tinggal .
b) Asas Forum of convinience adalah
suatu prinsip bahwa pengajuan perkara sebaiknya dilakukan di tempat tergugat
karena untuk memberikan kemudahan kepada tergugat . Antara lain tergugat dapat
melakukan pembelaan.
c) Principle effectiviness (asas efektifitas), adalah suatu prinsip bahwa
suatu perkara sebaiknya diajukan ke pengadilan mana hakim akan mudah untuk
melakukan eksekusi.
d) Asas forum solutionis contractus
yaitu asas yang menjadi dasar penetapan yurisdiksi bagi forum dari tempat mana suatu perikatan dianggap telah dilaksanakan
atau seharusnya dilaksanakan
e) Asas pengadilan tempat pihak berkedudukan yang lebih lemah
Yaitu asas yang memberikan kewenangan yurisdiksional pada pengadilan
tempat dimana pihak dalam transaksi
hukum memiliki kedudukan lebih lemah, khususnya pihak konsumen dalam transaksi
–transaksi konsumen atau pihak buruh dalam transaksi hubungan kerja.
f) Asas Pengadilan yang dipilih oleh para pihak
Yaitu asas yang merupakan manifestasi dari “asas kebebasan berkontrak”.
Dimana para pihak dapat menentukan sendiri pengadilan yang dianggap memiliki yurisdiksi eksklusif untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang timbul
dalam hubungan mereka.
g) Asas forum rei sitae yaitu asas yang menjadi dasar penetapan kewenangan
yurisdiksional forum atas perkara yang menyangkut hak kebendaan atas
benda-benda tetap.
h) Asas forum delicti , yaitu asas yang digunakan untuk penentuan adanya
kewenangan yurisdiksional dalam perkara perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad).
i) Asas forum connexitatis , yaitu asas yang memberikan kewenangan mengadili
pada forum yang telah memiliki yurisdiksi untuk memeriksa pokok perkara dan
juga gugat balik asas ini dapat digunaka jika tidak ada forum lain yang memiliki
yurisdiksi ekslusif atau yurisdiksim karena pilihan para pihak.
j) Asas forum aresti, yaitu asas pada perkara yang menyangkut muatan atau
kapal yang ditahan yang memberikan
kewenangan yurisdiksional pada pengadilan dimana tempat kapal muatan itu
ditahan
Dari berbagai
macam asas terkait dengan kewenangan yurisdiksional ini , maka hakim
prancis harus menyatakan memiliki
kewenangan yurisdiksional berdasarkan kasus
forgo . Hal ini dikarenakan yang menjadi pihak tergugat dalam hal ini
adalah pemerintah prancis (Asas sequitor forum rei dan Asas Forum of convinience)
Setlah kemudian
ditetapkan hakim (forum ) prancis memiliki kewenangan untuk mengadili
(kewenangan yurisdiksional ) atas perkara HPI, maka tahapan selanjutnya yang
harus dilakukan oleh hakim (forum) adalah menentukan sistem hukum intern negara
mana /apa yang harus diberlakukan untuk menyelesaikan perkara hukum yang
mengandung unsur-unsur asing itu atau menentukan lex causae.
Untuk
menentukan lex causae atas perkara maka hakim perlu untuk menentukan
titik-titik pertalian sekunder yang bersifat menentukan untuk menunjuk ke arah
lex causae. Titik –titik pertalian sekunder ini harus ditemukan dalam kaidah
/aturan/asas hpi yang tepat dan relevan yang
digunakan pada perkara yang sedang dihadapi kaidah atau asas hpi yang
dimaksud adalah asas HPI lex fori.
a) Tempat terletaknya benda
b) Kewarganegaraan
c) domisili pemilik benda bergerak
d) Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum
e) Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum
f) Tempat diresmikan pernikahan
g) Tempat ditanda tanganinya kontrak
h) Tempat dilaksanakannya kontrak
i) Pilihan hukum
j) Bendera kapal atau pesawat
k) Tempat kediaman
l) Tempat kedudukan atau kebangsaan badan hukum
Dalam hal ini
maka hakim harus terlebih dahulu menetukan kualifikasi fakta dan kualifikasi
hukum yang tepat dari perkara berdasarkan kategori yuridik yang dikenal oleh hakim dalam lex
fori. setelah itu barulah hakim menentukan kaidah HPI lex fori yang relevan
dalam rangka penunjukan ke arah lex causae (hukum negara yang ditunjuk oleh
kaidah HPI lex fori).
Dalam kasus
forgo yang dihadapi hakim prancis ini maka hakim (forum) prancis haruslah
terlebih dahulu melihat fakta-fakta yang terjadi. Diketahui bahwa fakta-fakta
hukum yang terjadi bahwa forgo yang merupakan seorang anak luar kawin meninggal
di prancis meninggalkan sejumlah harta warisan di prancis. kemudian harta
peninggalan tersbut di tuntut oleh saudara-saudara kandungnya. Oleh karena itu
kemudian berdasarkan kualifikasi fakta ini hakim (forum) harus menentukan
kualifikasi hukum berdasarkan kategori yuridik di dalam lex fori, bahwa kasus
ini merupakan gugatan mengenai hak dan kedudukan ahli waris dari seorang anak
luar kawin.
Setelah
kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum dilakukan maka hakim kemudian
menentukan kaidah HPI lex fori yang tepat untuk perkara tersebut.Diketahui
bahwa perkara terkait dengan masalah ahli waris dari anak luar kawin maka yang
digunakan adalah kaidah HPI prancis yang relevan dengan perkara itu. Kaidah HPI
Prancis yang relevan untuk perkara forgo adalah sbb :
“Bahwa
persoalan pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat dimana pewaris menjadi warga negara”.
Dari kaidah HPI
diatas maka diketahui bahwa titik pertalian sekundernya adalah tempat diman
pewaris menjadi warga negara (kewarganegaraan atau lex patriae) ,yakni negara jerman (bavaria). Oleh karena itu
kemudian yang menjadi lex causae nya adalah hukum jerman (bavaria).
Setelah lex
causae ditemukan maka sebenarnya hakim (forum) tinggal memutus perkara dengan
lex causae namun persoalannya semakin rumit jika ternyata kaidah HPI lex Causae
melakukan penunjukan kembali untuk digunakannya hukum lex fori. Hal ini lah
yang kemudian disebut dengan Renvoi (penunjukan kembali).
Adapun yang
dimaksud dengan renvoi (penunjukan kembali) adalah penunjukan kembali atau penunjukan
lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk
oleh kaidah HPI lex fori.
Munculnya renvoi ini adalah ketika terjadi suatu
masalah ketika hakim mencoba untuk
mendefinisikan “apa yang dimaksud
dengan menunjuk ke arah suatu sistem
hukum tertentu itu ? Dari hal ini kemudian timbul dua pengertian yang berbeda yaitu :
a) Penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern
(sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu. penunjukan semacam ini dalam
bahasa jerman dinamakan sachnormenveweisung.
b) Penunjukan ke arah keseluruhan sistem hukum tertentu ,
yang artinya prima facie, adalah
kaidah-kaidah HPI (kollisonsnormen) dari sistem hukum tersebut. penunjukan
semacam ini dinamakan gesamtverweisung.
Untuk menjelaskan perbedaan antara
sachnormenverweisung dengan gesamtverweisung ini maka akan diberikan contoh
sbb. Berdasarkan kasus HPI tertentu maka
hukum yang digunakan adalah hukum inggris, yang dipertanyakan apakah yang
diartikan hukum inggris itu . dalam hal ini terdapat dua kemungkinan.
a) Hukum intern inggris (domestic muncipal law) yang
berlaku di negara inggris untuk hubungan hukum antara sesama orang inggris
atau.
b) Bukan saja hukum intern tetapi ditambah dengan
kaidah-kaidah HPI inggris, jadi termasuk di dalamnya kaidah-kaidah mengenai
“Choice of Law” (HPI) Inggris.
Jadi dari contoh ini dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan sachnormenverweisung adalah hukum intern dari suatu
negara sedangkan gesamtverweisung merupakan kesluruhan sistem hukum
termasuk hukum inten dan kaidah HPI
(kollisonsnormen).
Renvoi hanya mungkin dilaksanakan jika kaidah HPI lex
fori menunjuk ke arah suatu sistem hukum asing dalam arti
gesamtverweisung.Artinya, penunjukan itu diarahkan kepada kaidah HPI asing yang
dianggap relevan dengan perkara yang sedang dihadapi.
Namun seorang hakim dapat dikatakan menerima atau
menolak suatu penunjukan kembali atau proses renvoi. Penerimaan atau penolakan
renvoi adalah sikap atau policy yang dianut oleh suatu sistem hukum tertentu
atau seorang hakim tertentu . Hal ini perlu di singgung untuk menegaskan bahwa
suatu proses renvoi betul-betul-merupakan tindakan oleh sebuah pengadilan
/hakim yang dilandasi proses berpikir hakim sendiri dan sama sekali tidak
melibatkan hakim asing yang akan menunjuk kembali ke arah forum yang pertama.
Dalam hal proses renvoi dijalankan oleh hakim maka
terdapat beberapa kemungkinan yang bisa terjadi.
a) Jika kaidah HPI suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk
ke arah sistem hukum asing dan penunjukan langsung itu dianggap sebagai
sachnormenverweisung ke arah kaidah hukum intern dapat di katakan bahwa hakim
telah menolak renvoi.
b) Jika kaidah HPI suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk
ke arah sistem hukum asing dan penunjukan itu dianggap sebagai gesamtverweisung
(termasuk kaidah-kaidah HPI Asing) dan
ada kemungkinan bahwa kaidah HPI sistem hukum asing itu akan menunjuk kembali
ke arah lex fori atau menunjuk lebih lanjut ke arah sistem hukum ketiga . Penunjukan
inilah yang disebut dengan proses renvoi.
c) Apabila penunjukan kembali ke arah lex fori dianggap
sebagai penunjukan ke arah seluruh sistem hukum lex fori , termasuk kaidah HPI
lex fori (gesamtverweisung) , fakta ini
menunjukan bahwa Pengadilan telah menolak renvoi.
d) Akan tetapi jika hakim (lex fori) mengangap bahwa
penunjukan kembali (atau lebih lanjut ) dianggap sebagai sachnormenverwesiung
dan mengarah pada kaidah-kaidah hukum intern lex fori (atau sistem hukum lain),
pengadilan dalam hal ini dianggap telah
menerima renvoi.
Dari uraian diatas terlihat bahwa dalam HPI , orang
mengenal dua jenis single renvoi,yakni :
1. Remission
Remission yaitu proses renvoi oleh
kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori .Karena itu, dalam remission
penunjukan pertama berlangsung dari kaidah HPI forum ke kaidah HPI asing
(gesamtverweisung) karena sebelumnya
diketahui bahwa kaidah HPI asing itu dalam penunjukan kedua akan
menunjuk kembali kearah lex fori. Jika forum menerima renvoi , penunjukan
kembali ini akan dianggap sebagai sachnormverweisung ke arah hukum intern forum
lex fori.
2. Transmission
Transmission yaitu proses renvoi
oleh kaidah HPI asing ke arah suatu sistem hukum asing lain. Dalam hal ini
penunjukan pertama berlangsung dari kaidah HPI forum lex fori ke arah kaidah
HPI asing (gesamtverweisung) yang sebelumnya telah diketahui akan menunjuk
lebih lanjut ke arah sistem hukum ketiga . Karena hakim berniat memberlakukan
aturan hukum intern dari hukum ketiga itu , penunjukan kedua akan dianggap
sebagai sachnormenverweisung.
Kembali pada kasus forgo,ternyata hakim prancis ketika
melakukan penunjukan ke arah hukum jerman (bavaria) sebagai lex causae
dimaksudkan kepada keseluruhan sistem hukum jerman (bavaria) sehingga hal ini
merupakan gesamtverweisung yang mengarah pada kaidah HPI jerman (bavaria). Adapun
di dalam sistem hukum jerman (bavaria), kaidah-kaidah yang mengatur tentang
perkara pewarisan ini adalah sebagai berikut.
Dalam kaidah
HPI Jerman (Bavaria) :
“Kaidah HPI jerman (bavaria) yang mengatur soal pewarisan menetapkan bahwa
pewarisan benda-benda bergerak harus tunduk pada hukum dari tempat dimana
pewaris bertempat tinggal (habitual residence).
Dalam kaidah Hukum intern Jerman (bavaria) :
“Hukum perdata intern jerman (bavaria) menetapkan bahwa saudara-saudara
kandung dari seorang anak luar kawin tetap berhak menerima harta peninggalan
dari anak luar kawin yang bersangkutan.
Jika kasus ini diselesaikan dengan kaidah hukum intern
lex causae (hukukm perdata intern jerman (bavaria), maka saudara-saudara
kandung dari forgo berhak mendapatkan harta waris berupa benda bergerak
peninggalan forgo. Namun karena hakim prancis melakukan penunjukan ke arah lex
causae yang dimaksudkan pada keseluruhan sistem hukum jerman (bavaria) , maka
hal ini mencakup kaidah HPI jerman (bavaria).
Karena kaidah HPI jerman (bavaria) mengatur bahwa
dalam soal pewarisan benda-benda bergerak harus tunduk pada hukum ditempat
dimana pewaris bertempat tinggal dan dalam hal ini forgo yang merupakan pewaris
keseharianya bertempat tinggal di prancis maka terjadi penunjukan kembali (renvoi)
kepada hukum prancis sebagai lex domicili forgo.
Kemudian di dalam kasus ini karena hakim prancis
mengangap penunjukan kembali (renvoi) ini sebagai sachnormverweisung ke arah
hukum perdata intern prancis, maka dalam hal ini hakim prancis akan memberlakukan
hukum perdata intern (code civil prancis).
Berdasarkan
kaidah hukum perdata intern prancis yang mengatur soal pewarisan dikatakan
bahwa :
“Harta peninggalan dari seorang anak luar kawin jatuh
ke negara.”
Maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah negara
prancislah yang berhak atas harta bergerak peninggalan forgo. Dalam hal ini
tergugat yakni pemerintah prancis dimenangkan oleh pengadilan prancis sedangkan
pihak penggugat yakni saudara-saudara kandung forgo telah dikalahkan.
2. Alasan-alasan
terjadinya Renvoi
Berdasarkan
uraian pada kasus diatas, dapat diuraikan alasan-alasan dalam pelaksanaan
renvoi tersebut :
1.
Dalam
pengambilan keputusan yuridis,
klasifikasi dapat dikatakan sebagai penerjemahan
fakta sehari-hari ke dalam kategori
hukum tertentu (translated into
legal term), sehingga
dapat diketahui arti yuridisnya (legal
significance). Penerapannya dalam
kasus di atas, dilihat
dari fakta yang
terjadi sehari-hari maka
peristiwa tersebut diklasifikasikan
ke dalam hukum perwarisan.
2.
Titik
taut primer merupakan
faktor-faktor atau keadaan
yang menciptakan dan menimbulkan
hubungan HATAH yang
lebih dikenal sebagai titik
taut pembeda. Dalam
kasus ini dapat
dilihat bahwa unsur asing (Foreign Element) adalah kaidah hukum Jerman.
3.
Titik
taut sekunder merupakan faktor-faktor dan
keadaan-keadaan yang
menentukan berlakunya suatu
sistem hukum tertentu
atau disebut juga titik
taut penentu. Dalam
hal ini dapat
dilihat dari kaidah-kaidah HPI
dari masing-masing Negara untuk
menentukan hukum mana yang
berlaku yang dalam
hal ini hingga terjadinya renvoi.
3.
Penggunaan Renvoi dalam HPI
Menurut
Cheshire, doktrin renvoi ini tidak dapat digunakan disemua jenis perkara HPI,
terutama dalam perkara-perkara yang sedikit banyak berkaitan dengan
transaksi-transaksi bisnis, dan setiap tindakan pilihan hukum dalam
transaksi-transaksi seperti itu pasti akan dimaksudkan sebagai penunjukan ke
arah hukum intern (Sachnormenverweisung). Di dalam pasal 15 dari
Konvensi Roma (1980 yang mengikat semua negara anggota Masyarakat Eropa,
misalnya, Renvoi tegas-tegas ditolak.
Masalah-masalah
HPI yang jika dimungkinkan masih dapat diselesaikan dengan menggunakan doktrin Renvoi
adalah masalah validitas pewarisan (testamenter atau intestatis),
tuntutan-tuntutan atas benda-benda tetap di negara asing, perkara-perkara yang
menyangkut benda bergerak, dan masalah-masalah hukum keluarga (perkawinan,
akibat perkawinan, harta perkawinan, status personal, dan sebagainya). Masalah renvoi
yang selalu menarik perhatian dari penulis-penulis HPI dari dahulu sampai
sekarang, dikenal dengan berbagai istilah. Di Indonesia memilih istilah
“Penunjukan Kembali”. Dalamkenyataan orang dapat melakukan penunjukan dengan
dua pengertian yang berbeda :
1. Penunjukan
kearah Kaidah-kaidah Hukum Intern (Sachnormen) dari suatu sistem hukumt
ertentu. Penunjukan semacam ini dalam bahasa Jerman dinamakan
Sachnormenverweisung.
2. Penunjukan
kearah keseluruhan sistem hukum tertentu, yang artinya prima facie, adalah
kaidah-kaidah HPI (Kollisionsnormen) dari sistem hukum tersebut. Penunjukan
semacam ini dinamakan Gesamtverweisung.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah
di atas, dapat diketahui bahwa dalam dunia perdata internasional banyak sekali
permasalahan yang harus diselesaikan secara cepat. Penunjukan sistem hukum
tertentu merupakan upaya untuk menegakkan keadilan serta memberikan rasa aman
bagi pencari keadilan.
Renvoi adalah metode
yang relevan sebagai jawaban untuk menyelesaikan masalah, maka perlu kiranya
progresifitas yang berkelanjuta dan signifikan guna menjamin adanya keadaan
yang seimbang antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar